Pada awalnya,
dan mungkin hingga kini,
agama dikreasi sedemikian rupa untuk mempercantik kehidupan.
Namun,
dibalik niatnya yang mulia itu,
sepertinya agama 'ditakdirkan' mengalami masa 'puber' yang menggoreskan sejarah kelam.
Adalah suatu kritik dan mungkin otokritik, sebagai bentuk kepedulian,
ketika Karl Marx mengatakan bahwa "agama adalah candu ...",
dan Friedrich Nietzsche menuliskan "tuhan telah mati".
Dalam pandangan netral,
agama bisa dianalogikan sebagai Racun Ular,
Pada dosis tertentu yang tepat dia adalah penyembuh,
sedangkan pada dosis lain dia menjadi pembunuh.
Sejauh kita amati,
praktik keberagamaan saat ini bergeser ke 'level kulit',
dimana ritual menjadi lebih pokok dibandingkan hakikat makna,
dimana anak tangga menjadi lebih utama dan berharga dari hasil pendakian.
Ketika makna perjalanan hilang,
mata fisik barangkali bisa tetap melihat,
namun hakikat dari arak-arakan panjang telah berubah,
ibarat orang buta menuntun orang buta.
Lalu ketika agama hanya berkutat di level kulit,
berkubang di tataran ritus-ritus tanpa makna konkrit,
dalam kehidupan nyata agama akan menjadi benjut-benjut dihajar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang lebih mampu menjawab persoalan-persoalan konkrit manusia,
yang terjadi seringkali bukan refleksi, namun justru anarkhi.
Kembali ke kritik Marx dan Nietzsche,
ketika kaum beragama sudah merasa berhak memonopoli tafsir kebenaran,
dan menjadi wakil Tuhan dalam hal menghakimi manusia lian,
maka pada hakikatnya benar, Tuhan telah mati.
Tuhan telah (di) mati (kan) kewenangan (nya),
dan agama menjadi tinggal seni teatrikal saja,
nir makna ...
Sebuah malpraktek ?
Bisik-bisik Malaikat Kafein Nikotin
24 September 2013.
